- Back to Home »
- IPS , pelajaran , pengendalian sosial , Perilaku menyimpang , SMA , Sosioloogi »
- Perilaku Menyimpang dan Pengendalian Sosial
Posted by : Unknown
Sunday, December 2, 2012
Pada umumnya
orang-orang dalam masyarakat cenderung konformis (menyesuaikan cara hidupnya:
cara berfikir, berperasaan dan bertindak) dengan yang berlaku di lingkungan kelompoknya.
Misalnya: anak laki-laki bermain dengan “mainan laki-laki”, anak perempuan bermain
dengan “mainan perempuan”, apabila diberi kesempatan saling berinteraksi maka cenderung
memiliki opini atau pendapat yang sama, dan seterusnya.
Mengapa
orang-orang cenderung konformis terhadap norma-norma sosial?
- Orang yang bersangkutan telah berhasil disosialisasikan sehingga menginternalisasikan nilai dan norma yang berlaku di masyarakatnya
- Orang yang bersangkutan tidak dapat menemukan alternatif lain kecuali mengikuti pola yang sudah ada
- Apabila tidak konformis dengan norma sosial akan direaksi dengan pemberian sanksi oleh masyarakat, dan apabila konformis akan mendapatkan positive-incentive (ganjaran) dari masyarakat Meskipun demikian di masyarakat ada sedikit orang yang perilakunya “melanggar” norma atau “menyimpang”.
Secara
sosiologis istilah “menyimpang” atau “deviance” lebih tepat dari pada “melanggar” atau
“violate”. Sebabnya ialah, perilaku yang dikatakan menyimpang di samping
meliputi perilaku yang melanggar norma dan merusak atau mengacaukan kaidah yang
ada, acapkali terdapat pula perilaku yang tidak terbukti nyata kalau merusak
atau mengacau tatanan yang ada, melainkan hanya terasa lucu, aneh, nyentrik,
dan malah dapat memperkaya alternatif perilaku.
Invensi-invensi
kreatif dalam berperilaku yang masih dalam taraf individual peculiarities (keanehan
pribadi), belum memasyarakat, belum terbakukan dan karenanya masih dinyatakan
“melawan arus” pun dapat masuk sebagai perilaku menyimpang. Banyak
perilaku-perilaku kreatif seperti bersifat sangat rasional akan dipandang
menyimpang hanya karena belum lazim dan berbeda dengan kaidah
sosial yang berlaku yang sesungguhnya tidak rasional.
Beberapa batasan
tentang perilaku menyimpang:
- Perilaku menyimpang adalah perilaku yang oleh sejumlah orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi (van der Zanden, 1979)
- Perilaku menyimpang adalah perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma kelompok/masyarakat (Horton dan Hunt, 1993)
- Perbuatan disebut menyimpang apabila perbuatan itu dinyatakan menyimpang, sehingga penyimpangan bukanlah kualitas dari suatu tindakan melainkan konsekuensi atau akibat dari adanya peraturan dan diterapkannya sanksi-sanksi oleh masyarakat (Becker, dalam Horton dan Hunt, 1993)
Dari tiga
batasan di atas tampak bahwa penyimpangan bukanlah sesuatu yang melekat pada suatu
tindakan, tetapi diberi ciri menyimpang melalui definisi sosial. Definisi
sosial dapat diberikan oleh golongan/kelas berkuasa atau oleh
masyarakat pada umumnya. Maka, “wanita berambut pendek”
atau “laki-laki berambut panjang” apakah merupakan suatu penyimpangan?
Bentuk-bentuk
perilaku menyimpang:
Secara umum,
macam-macam penyimpangan adalah sebagai berikut.
- Tindakan nonconform (tidak sesuai dengan nilai dan norma yang ada)
misalnya: mengenakan
sandal ke sekolah, membolos, dst. Termasuk dalam kategori ini adalah perilaku-perilaku
yang terlalu maju, terlalu rasional, terlalu baik, dan sebagainya yang dalam
tahap tertentu masih dalam taraf individual peculiarities sebagaimana
disebutkan di atas.
- Tindakan antisosial (melawan kebiasaan masyarakat/kepentingan umum)
misalnya: menarik
dari dari pergaulan, keinginan bunuh diri, ngebutisme, alkoholisme, dan
seterusnya.
- Tindakan kriminal
misalnya
pencurian, perampokan, pembunuhan, korupsi, dan seterusnya.
Secara khusus,
macam-macam penyimpangan dapat dirinci sebagai berikut.
1. Penyimpangan diterima dan penyimpangan ditolak
Penjahat ataupun
orang-orang yang sangat baik adalah penyimpang. Maka Jack The Ripper
dan
Florence Ningtingale adalah penyimpang. Perbedaannya adalah ditolak dan diterima.
2. Penyimpangan
relatif dan penyimpangan mutlak
Dalam kehidupan
sosial yang sebenarnya sukar dijumpai orang yang sepenuhnya menyimpang
atau sepenuhnya konformis. Yang mudah dijumpai adalah menyimpang dalam
batas-batas tertentu dan konformis dalam batas-batas tertentu. Sehingga sukar dijumpai
orang yang secara mutlak menyimpang.
3. Penyimpangan
primer dan penyimpangan sekunder
Penyimpangan
primer terjadi pada kasus seseorang yang menyimpang dalam hal-hal tertentu,
temporer dan tidak berulang sehingga pelakunya tidak mendapatkan cap atau label
sebagai penyimpang. Penyimpangan sekunder terjadi pada kasus orang yang
memperlihat perilaku khas menyimpang, misalnya karena perilaku menyimpang itu
dilakukan berulang, sehingga memang orang
tersebut kemudian dikenal sebagai penyimpang.
4. Penyimpangan
terhadap budaya nyata atau budaya ideal
Bahwa perilaku
korupsi itu jahat, bahwa merokok itu merusak kesehatan, bahwa NAPZA itu merusak
jiwa dan raga, sebagian besar orang tentu setuju dengan pernyataan ini. Tapi, apakah
kemudaian tidak melakukannya? Demikianlah, tidak selamanya budaya nyata sejalan
dengan budaya ideal. Penyimpangan atau konformis terhadap salah satunya berarti
konformis atau menyimpang terhadap yang lain.
5. Penyimpangan
individual, kelompok dan campuran
Penyimpangan
individual dilakukan oleh seorang individu tanpa melibatkan kelompoknya
(individual deviation). Penyimpangan kelompok dilakukan oleh orangorang dalam
kelompok (group deviation), yang mungkin saja individu-individu di dalamnya
bukanlah penyimpang individual.
Contohnya:
pelanggaran lampu lalu lintas yang dilakukan
oleh sekelompok pengendera kendaraan bermotor. Pelanggaran tersebut dapat
jadi bukan kehendak pribadi-pribadi. Pernahkah Anda merasa “dipaksa” menyimpang
oleh kelompok Anda?
Penyimpangan
yang dilakukan oleh seseorang baik sendirian maupun bersama dengan kelompoknya
disebut sebagai penyimpangan campuran (mixture both deviation).
6. Penyimpangan
adaptif
Yang dimaksud
penyimpangan adaptif adalah penyimpangan yang berfungsi sebagai cara menyesuaikan
diri terhadap perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat.
B. Pembentukan
perilaku menyimpang
1. Teori biologi
Teori ini
menjelaskan tentang bagaimana perilaku menyimpang tersebut hubungannya dengan
keadaan biologis, misalnya cacat tubuh bawaan lahir, tipe tubuh tertentu, misalnya
endomorph (gemuk-halus), mesomorph (sedang-atletis) atau ectomorph (kurus), dengan
perilaku jahat.
2. Teori
psikologi
Perilaku
menyimpang sering dianggap sebagai penyakit mental, jadi orang yang menyimpang
itu karena mengalami penyakit mental atau gangguan kejiwaan.
3. Teori
sosialisasi
Perilaku
menyimpang merupakan hasil dari proses sosialisasi:
- Proses sosialisasi tidak sempurna, dapat terjadi karena mengalami inferioritas (minder) akibat cacat fisik bawaan lahir, atau memperoleh informasi yang tidak lengkap, misalnya tentang kehidupan seksual.
- Seseorang menghayati kehidupannya dalam kelompok menyimpang (kebudayaan khusus menyimpang) di delinquen area (dalam sosiologi dikenal adanya black area , atau kawasan permukiman kumuh (slums) yang serinag berasosiasi dengan crime areas, yang dijumpai hampir di setiap kota).
- Karena pergaulannya dengan para penyimpang (asosiasi diferensial)
4. Teori anomie
Perilaku
menyimpang muncul dalam masyarakat karena adanya anomie (kesimpangsiuran
norma atau keadaan tanpa norma yang pasti sebagai patokan berperilaku).
Anomie menimbulkan perilaku menyimpang karena mengakibatkan keterpisahan
emosional (ketidakberdayaan, ketidakberartian, keterpencilan) antara seseorang
dengan masyarakatnya.
Emille Durkheim
dan Robert K. Merton menguraikan bahwa anomie terjadi karena ketidakharmonisan
antara tujuan budaya dengan cara-cara formal untuk mencapai tujuan.
Dalam kaitan ini
Merton mengemukakan adanya lima macam cara adaptasi oleh orang
atau sekelompok
orang terhadap tujuan-tujuan masyarakat, yaitu:
Cara
adaptasi
|
Tujuan
budaya
|
Cara
formal
|
Konformitas
(penyesuaian)
|
Diterima
|
Diterima
|
Inovasi
(pembaruan)
|
Diterima
|
Ditolak
|
Ritualisme
|
Diabaikan/ditolak
|
Diterima
|
Retreatisme (pengunduran/menarik diri)
|
Ditolak
|
Ditolak
|
Rebellion
(pemberontakan)
|
Ditolak
dan berupaya menggantinya dengan yang baru
|
Ditolak
dan berupaya menggantinya dengan yang baru
|
Di antar lima
cara adaptasi di atas hanya satu yang bukan penyimpangan, yakni
konformitas.
5. Teori reaksi
masyarakat: teori labelling (pemberian cap)
Seseorang
berperilaku menyimpang karena oleh masyarakat diberi cap menyimpang. Pemberian
cap ini mendorong individu melakukan serangkaian perbuatan yang merupakan
self-fulfilling prophecy (pembenaran peramalan diri) bahwa ia adalah penyimpang.
6. Teori konflik
Teori konflik
meliputi dua hal, yaitu konflik budaya dan konflik sosial. Konflik budayan terjadi
pada masyarakat dengan ciri pluralitas (kemajemukan), di masyarakat tersebut terdapat
dua atau lebih kelompok dengan subkultur yang saling berbeda, sehingga suatu perilaku
yang sesuai dengan subkultur tertentu dapat berarti penyimpangan terhadap subkultur
yang lain.
Teori konflik
sosial menerangkan bahwa penyimpangan terjadi karena adanya perbedaan norma dan
kepentingan di antara kelas-kelas, sehingga suatu perilaku yang tidak sesuai dengan
perilaku kelas tertentu dinyatakan sebagai perilaku menyimpang.
7. Teori
pengendalian sosial
Penyimpangan
terjadi karena lemahnya pengendalian sosial, baik berupa tekanan sosial maupun
pemberian sanksi-sanksi, bahwa suatu kejahatan, misalnya mencuri atau memperkosa,
tidak selalu diawali oleh adanya niat untuk mencuri atau memperkosa, tetapi
karena adanya kesempatan untuk itu, akibat lemahnya pengendalian sosial.
C. Pengertian
dan Jenis-jenis Pengendalian Sosial
Agar dapat
diterima oleh kelompok atau masyarakatnya individu harus mentaati sejumlah aturan
yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya. Untuk itu masyarakat melakukan pengendalian
sosial terhadap para warganya sehingga perilaku sebagian besar warga masyarakat
berada dalam kerangka keteraturan sosial.
Dalam masyarakat
orang dikendalikan terutama dengan mensosialisasikan mereka dengan nilai
dan norma sosial sehingga mereka menjalankan peran-peran sesuai harapan
sebagian besar warga masyarakat, melalui penciptaan kebiasaan
dan rasa senang.
Namun dalam
kenyataannya, meskipun nilai dan norma sosial itu telah disosialisasikan, tetap saja
terjadi penyimpangan. Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi saja tidak cukup
untuk terciptanya keteraturan sosial. Norma-norma sosial
itu tidak cukup kuat mempunyai selfenforcing (kemampuan
diri melaksanakan fungsi) di dalam menjamin keteraturan sosial. Oleh
karena itu, di samping proses sosialisasi masyarakat menciptakan pula sistem pengendalian
sosial.
Apa yang dimaksud pengendalian sosial?
- Pengendalian sosial adalah berbagai cara yang digunakan oleh masyarakat untuk menertibkan anggota-anggotanya yang membangkang (Berger, 1978)
- Pengendalian sosial adalah segenap cara dan proses yang ditempuh oleh sekelompok orang atau masyarakat sehingga para anggotanya dapat bertindak sesuai dengan harapan kelompok atau masyarakat (Horton dan Hunt, 1993).
Menurut waktu pelaksanaannya, pengendalian sosial dapat dibedakan antara
- Pengendalian sosial preventif, yakni dilakukan sebelum terjadi penyimpangan
- Pengendalian sosial kuratif, yang dilakukan setelah terjadi penyimpangan, dimaksudkan untuk memulihkan keadaan
Sedangkan
apabila menurut caranya, tedapat pengendalian sosial
1. Persuasif,
yakni yang dilakukan dengan mengajak atau mendidik
2. Represif,
dilakukan dengan menggunakan tekanan sosial, paksaan, atau bahkan kekerasan Menurut
Soetandyo Wignyosubroto, sarana utama pengendalian sosial adalah sanksi, yaitu suatu
bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh masyarakat.
Individu
yang telah menyimpang dikenakan sanksi, dan yang
diperkirakan akan menyimpang diancam dengan sanksi.
Secara umum sanksi ada tiga macam: (1) sanksi ekonomi, (2) sanksi fisik, dan (3) sanksi
psikologis.
Mengapa
masyarakat melakukan pengendalian sosial?
- Eksploitasi, pengendalian sosial dimaksudkan untuk mengendalikan situasi sehingga tidak mengancam kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat (vested interested)
- Regulatif, pengendalian sosial dilakukan agar dicapai keteraturan sosial, sehingga warga masyarakat mudah menyesuaikan dirinya dengan tujuan-tujuan masyarakat, termasuk mudah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya
- Konstruktif, pengendalian sosial dimaksudkan untuk mengarahkan perubahan dan kebudayaan ke arah yang diharapkan oleh sebagaian besar masyarakat
Cara-cara
pengendalian sosial:
1. Sosialiasi
Para anggota
masyarakat disosialisasikan untuk menjalankan peran sesuai dengan harapan
masyarakat. Melalui sosialisasi seseorang menginternalisasikan nilai-nilai sehingga
menjadi bagian dari perilaku otomatisnya. Dengan kata lain, sosialisasi membentuk
kebiasaan, keinginan dan tata cara yang sangat membantu dalam mengambil keputusan
“apakah dan harus bagaimanakah” melakukan aktivitas (termasuk kapan bangun
pagi, kapan tidur, bagaimana bentuk potongan rambut laki-laki, bentuk potongan rambut
perempuan, prosedur memperoleh pasangan hidup, dan seterusnya).
2. Tekanan
sosial
Individu akan
menerima tekanan sosial tertentu apabila perilakunya tidak konformis dengan
harapan-harapan masyarakat. Tekanan sosial
dapat dilakukan dengan cara-cara: membujuk, meperolok, mempermalukan,
mengucilkan, dan sebagainya. Cara-cara demikian memang cukup efektif pada kelompok primer. Pada kelompok
sekunder, tekanan-tekanan sosial dilakukan dengan peraturan resmi, srandardisasi,
propaganda, human engineering, reward dan hukuman. Cara-cara ini akan lebih
efektif kalau didukung oleh kelompok primer. Tekanan sosial
seperti pada kelompok primer tidak efektif pada kelompok sekunder karena
kebutuhan orang pada kelompok sekunder bukanlah kebutuhan emosional, maka jika
kelompok sekunder tidak lagi dapat memenuhi kebutuhannya yang ditinggalkan
saja. Orang sering tidak bersedih kehilangan kelompok
sekunder.
Bahasa sebagai
alat pengendalian sosial
Menurut para
penganut teori interaksionisme simbolik, bahasa adalah konstruksi kenyataan
sosial. Penggunaan bahasa diyakini dapat mengubah cara pandang seseorang. Penggunaan
bahasa-bahasa tertentu (istilah-istilah) dapat merupakan tekanan sosial bagi pihak-pihak
tertentu dalam masyarakat sehingga perilakunya dapat dikendalikan. Bahasa
sebagai alat tekanan sosial melalui eufemisme (penghalusan bahasa) ataupun plesetan
(redefinition).
3. Kekuatan/paksaan fisik
Apabila
cara-cara pengendalian sosial melalui sosialisasi dan tekanan sosial tidak lagi efektif,
maka adalah yang tertua dan terkini: paksaan fisik, resmi maupun tidak resmi.
D. Peran lembaga
(pranata) sosial dalam mengendalikan perilaku menyimpang
Di antara sekian
lembaga sosial yang ada dalam masyarakat, adalah regulative institution yang
secara tegas berfungsi sebagai kontrol sosial, misalnya: lembaga kepolisian,
pengadilan, adat, lembaga-lembaga perwakilan rakyat di mana di
dalamnya ada para tokoh masyarakat,
dan sebagainya.
Beberapa lembaga
juga sering disebut lembaga resosialisasi. Misalnya rumah singgah, penjara,
dst. Mengapa resosialisasi? Beberapa anggota masyarakat memiliki perilaku yang menyimpang
atau tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam kelompok/masyarakat,
mulai dari yang sekedar berbeda, unik, bahkan jahat. Melalui proses resosialisasi
nilai-nilai lama yang dianut oleh seseorang dicabut dan digantikan dengan
nilainilai baru yang sesuai dengan harapan sebagian besar
anggota masyarakat.
Berikut ini
lembaga-lembaga yang berfungsi dan berperan dalam proses pengendalian sosial,
antara lain:
1. Lembaga
kepolisian
Lembaga ini
terutama menangani penyimpangan terhadap aturan-aturan atau hukum tertulis,
dengan cara menangkap, memeriksa / menyidik
dan selanjutnya mengajukan pelaku
penyimpangan ke pengadilan.
2. Pengadilan
Pengadilan
memiliki fungsi membuat keputusan hukum terhadap warga masyarakat yang melakukan
pelanggaran terhadap norma-norma hukum. Keputusan pengadilan di samping
berdasarkan norma hukum, juga mempertimbangkan nilai-nilai kepatutan dan kesusilaan
yang berlaku, hidup dan berkembang dalam masyarakat.
3. Adat istiadat
Adat istiadat
pada umumnya mengandung norma-norma yang bersumber pada ajaranajaran agama
atau keyakinan masyarakat. Adat istiadat memiliki peran penting dalam pengendalian
sosial karena dapat saja orang lebih menghormati dan taat kepada adat dari pada
terhadap hukum tertulis. Namun, adat istiadat juga dapat melengkapi
aturan-aturan hukum tertulis.
4. Agama
Di dalam agama
terdapat ajaran tentang perbuatan yang dilarang dan perbuatan yang dianjurkan,
diperintahkan ataupun diperbolehkan. Dalam ajaran agama juga terdapat system
sanksi dan ganjaran atau pahala. Perbuatan-perbuatan yang dilarang agama diklasifikasikan
sebagai perbuatan dosa yang diancam dengan hukuman atau siksa neraka di
akhirat.
5. Lembaga
pendidikan
Melalui
pendidikan orang mempelajari, mengakui dan membiasakan diri bertindak sesuai dengan
nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku dimasyarakatnya, sehingga lembaga pendidikan
memegang peran penting dalam pengendalian sosial.
6. Tokoh
masyarakat
Tokoh masyarakat
adalah individu-individu yang memiliki kemampuan, pengetahuan, perilaku,
usia, atau kedudukan yang dipandang penting oleh anggota masyarakat. Peran tokoh
masyarakat dalam pengendalian sosial antara lain: mendamaikan persilisihan, memberikan
nasehat kepada warga yang telah/akan melakukan penyimpangan, dan sebagainya.
E. Efektivitas
pengendalian sosial
Menutur
Soetandyo Wignyosubroto ada beberapa faktor dalam masyarakat yang ikut menentukan
efektif atau tidaknya pengendalian sosial, yaitu:
- Menarik-tidaknya kelompok; semakin menarik, suatu kelompok semakin efektif dalam melakukan pengendalian sosial.
- Otonomi-tidaknya kelompok; semakin otonom suatu kelompok (yang ditandai oleh kesadaran para anggota kelompok bahwa di luar kelompoknya tidak terdapat banyak kelompok serupa) maka pengendalian sosial semakin efektif.
- Beragam tidaknya norma dalam kelompok; semakin banyak norma semakin besar potensi terjadinya anomie.
- Besar kecilnya kelompok; semakin besar kelompok, pengendalian sosial semakin tidak efektif
- Anomie-tidaknya kelompok; semakin anomie pengendalian sosial semakin tidak efektif.
- Toleransi petugas pengendalian sosial terhadap pelangggaran/ penyimpangan yang terjadi. Dalam hal ini toleransi petugas pengendalian sosial sering dipengaruhi oleh:
- ekstrim tidaknya pelanggaran/penyimpangan
- keadaan/situasinya
- status atau reputasi pelanggar/penyimpang
- azazi tidaknya nilai yang terkandung dalam norma yang dilanggar